Etika, Bonus Demografi dan Media Sosial

Prof. Dr. Hafid Abbas (Wakil Rektor UNJ 1997-1999)

Pada 5 Juli 2023 lalu, UNJ mengukuhkan tiga orang guru besar barunya yakni: Prof Dr Eveline Siregar, MPd, Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu (FIP) dalam bidang Ilmu Pengembangan Media dan Sumber Belajar; Prof Dr Moch Sukardjo sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Teknik dengan bidang Ilmu Teknologi Pendidikan; dan Prof Dr Yuliani Nurani, MPd sebagai Guru Besar Tetap FIP dengan bidang Ilmu Teknologi Pembelajaran Anak Usia Dini .

Dari orasi ilmiahnya, ketiga Guru Besar tersebut mengangkat berbagai isu fundamental dunia pendidikan di tanah air yang perlu mendapat perhatian serius tidak hanya dari unsur pemerintah pusat dan daerah, tetapi juga dari dunia akademik dan masyarakat luas.

Pertama adalah persoalan penegakan etika, moral dan hukum pada seluruh aspek pengelolaan pendidikan di semua jenjang, jenis dan jalur. Pada orasinya tentang Nilai dalam Teknologi Pendidikan yang Melandasi Pengembangan dan Pemanfaatan Media dan Sumber Belajar, Eveline mengemukakan bahwa landasan nilai merupakan hal yang penting bagi suatu bidang ilmu.

Teknologi Pendidikan (TP) sendiri secara eksplisit mencantumkan definisi TP dengan istilah “ethical practice, yang menunjukkan bahwa TP memerlukan sejumlah nilai-nilai professional, etika dan nilai moral.

Praktek etis ini secara formal dituangkan dalam Kode Etik AECT (Association for Educational Communication and Technology) yang dipandang sebagai suatu rujukan penting bagi keberhasilan profesi TP. Dikembangkannya berbagai teknologi terkini (emerging technology) dan model-model pembelajaran terbaru (emerging learning) yang berbasis IT, perlu dipertanyakan apakah semua itu sudah dilandasi oleh nilai-nilai yang benar.

Oleh sebab itu, dalam mengadopsi dan mengadaptasi satu teknologi diperlukan satu landasan nilai karena: TP bermata dua, bisa berguna atau merusak, bergantung dari pemanfaatannya; dan, tujuan umum dari TP adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan umat manusia, karenanya harus diperhitungkan segala implikasi pemanfaatannya agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan.

Prinsip-prinsip etis itu tertuang dalam “Educratic Oath” (Spector,2005) yang terinspirasi oleh Hippocratic Oath pada bidang kedokteran, ditujukan bagi para praktisi TP, antara lain: jangan melakukan sesuatu yang dapat menggangu kegiatan belajar, kinerja, pembelajaran; hormati hak-hak individu dari setiap orang yang berinteraksi dengan anda.

Pentingnya landasan etika dalam pendidikan, teringat ketika pada awal 2000, sebagai Deputi Menteri Negara Urusan HAM, saya berkunjung ke negara-negara Scandinavia. Di Norwegia misalnya, melalui Student Ombudsman, terlihat nilai-nilai etika itu diberlakukan dengan baik di dunia pendidikannya. Misalnya, sejak 1 Juli 1975 sudah menghentikan segala bentuk promosi, bantuan dan iklan rokok di negaranya. Mereka ingin menyelamatkan negaranya dan anak didiknya dari ancaman bahaya rokok (Norway: Ban on Advertising and Promotion, WHO, 2003).

Bahkan di undang-undang pendidikannya ditulis: All pupils are entitled to a good physical and psychosocial environment conducive to health, well-being and learning. Karenanya, mereka menolak bantuan apa pun dari pabrik rokok, pabrik senjata dan perusak lingkungan hidup.

Keadaan ini berbeda dengan Indonesia. Komisi X DPR RI beberapa waktu lalu merisaukan satu persoalan etika di Kemdikbudrisek ketika ada kebijakan pelaksanaan pelatihan guru melalui Program Organisasi Penggerak (POP) yang melibatkan Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation. Bantuannya masing-masing sebesar IDR 20 miliar satu paket setahun.

Masuknya kedua lembaga ini sebagai penerima hibah dari negara dinilai tidak etis karena keduanya korporasi maha kaya yang tidak pantas mendapatkan hibah dari APBN (Kompas.com 23/07/2023). Lagi pula PT Sampoerna telah dikenal sebagai perusahaan rokok raksasa, dan Tanoto juga banyak disoroti oleh pencinta lingkungan hidup seperti Greenpeace karena dinilai sebagai perusak hutan, berkonflik dengan masyarakat adat, dan beragam kejahatan ekonomi lainnya (dw.com 11/02/2021).

Ironisnya, kedua lembaga itu tidak dikenal pula memiliki rekam jejak panjang sebagai pencetak atau pelatih guru dan tenaga kependidikan.

Kedua adalah isu integrasi media pembelajaran dengan media sosial. Dalam orasi ilmiahnya tentang: Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Siswa SMK di Era New Normal dengan Integrasi Media Pembelajaran dan Media Sosial, Sukardjo mengungkapkan bahwa HP atau Gadget dapat digunakan sebagai media pemmbelajaran baik yang by design maupun yang by utility. Alasannya, pengguna media sosial, seperti: instagram, facebook dan tiktok di Indonesia terlihat jumlahnya sangat besar.

Misalnya, pengguna facebook sudah berjumlah 195,3 juta. Dari jumlah itu, 62,7 juta pengguna berusia 18-24 tahun, 46 juta di usia 25-34 tahun (April 2023). Data ini membuka peluang bagi guru untuk merancang konten pembelajaran yang menarik bagi siswa SMK dalam bidang keterampilan yang dapat diunggah melalui akun facebook.

Selanjutnya, pengguna Instagram (IG) di tanah air sudah berjumlah 109,3 juta dan pengguna TikTok berjumlah 106 juta dengan diminati oleh kelompok usia muda.

Ketiga akun media sosial tersebut, terlihat penggunanya tumbuh amat pesat dan kini sudah diakses lebih 410 juta orang. Mereka umumnya berada di kelompok usia pendidikan menengah dan tinggi. Tentu ini adalah peluang sekaligus tantangan bagi guru dan dunia pendidikan. Dapatkah media sosial tersebut digunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan menghadirkan kualitas pembelajaran siswa yang lebih bermutu.

Ketiga adalah persoalan mewujudkan Generasi Emas 2045 pada usia seabad kemerdekaannya. Melalui orasi ilmiahnya: Pemikiran Reflektif: Mewujudkan Generasi Emas 2045 Anak Indonesia yang Berkarakter dan Berbudaya dalam Membangun Peradaban Dunia (Implementasi Teknologi Pembelajaran Anak Usia Dini/PAUD), Yuliani mengetengahkan beragam tantangan dan harapan untuk mewujudkan generasi emas itu.

Dikemukakan oleh Yuliani bahwa pada 2045, jumlah penduduk Indonesia yang berusia 15-64 tahun mencapai 206 juta (Bappenas, 2018). Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yaitu usia produktif lebih banyak dibanding dengan usia lanjut. Apabila bonus demografi ini tidak dimanfaatkan dengan baik, akan menimbulkan beragam masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan tingkat kriminalitas yang tinggi.

Namun, apabila dipersiapkan dengan baik sejak dini, bonus demografi akan menjadi berkah dan menjadi faktor pendukung pembangunan bangsa menuju masyarakat yang dicita-citakan.

PAUD adalah salah satu solusi untuk menciptakan SDM unggul yang berkarakter dan berbudaya. PAUD Emas 2045 berikhtiar membentuk insan manusia unggul sejak dini menuju terwujudnya cita-cita proklamasi pada saat seabad kemerdekaannya.

Sayang sekali, data angka partisipasi kasar (APK) anak yang mengikuti PAUD masih terlihat amat rendah. Pada 2022, angkanya hanya 35,28% (BPS, 2022). Ini menunjukkan betapa Indonesia tertinggal amat jauh dari tetangganya Malaysia yang APK-nya sudah mencapai 86%. Lagi pula, di antara 460.204 guru PAUD-TK di seluruh tanah air, 48,7% ternyata belum memenuhi syarat, belum berpendidikan S1 (Kemdikbudristek 2023). Sementara di Malaysia, sudah mencapai 100% (springer.com, 22/05/2022).

Persoalan lain, mutu pendidikan Indonesia terlihat amat rendah dan tidak merata. Data Programme for International Student Assessment (PISA) memperlihatkan pada 2000 hingga 2012, Indonesia tetap berada di peringkat 64 dari 65 negara, 76% anak-anak Indonesia di PISA tidak mencapai level 2 (level minimal untuk keluar dari kategori low achievers). Hanya 0,3% anak Indonesa berada di level tertinggi (5 dan 6). Hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia memiliki minat baca serius. Hal ini merujuk pada 0,001 saat UNESCO meneliti minat baca orang Indonesia pada 2012 (Antara, 3/12/2014).

Ironisnya lagi, terkait mutu, di Distrik Mindiptana, Kabupaten Boven Digoel, Papua, misalnya, masih terdapat 50% siswa SMP yang belum bisa membaca dan menulis atau masih buta aksara. Di jenjang SLTA, angkanya sekitar 40% (Detiknews.com, 29/10/2017).

Karenanya tidaklah mengherankan jika pada akhir 2012, tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, menempatkan pendidikan Indonesia di posisi terburuk di dunia, bersama Meksiko dan Brasil. Tempat terbaik pertama dan kedua diraih Finlandia dan Korea Selatan.

Jika tidak ada penanganan gawat darurat (ICU) penyelamatan pendidikan, ikhtiar Indonesia untuk menjadi negara dengan kekuatan ekonomi keempat terbesar di dunia pada 2045, tentu sulit tercapai. Sebaliknya, segala kebesaran dan kekayaan sumber daya alam yang kita miliki akan hanya jadi berkah bagi bangsa lain. Misalnya, untuk kekayaan nikel yang ada di perut bumi negeri ini, 90% sudah dikuasai oleh China dengan keuntungan yang diperolehnya sekitar IDR 450 triliun setahun (inilah.com, 21/11/2022).

Terakhir, menarik direnungkan tuturan Abdullah Badawi (2004), “bagi Malaysia urusan pendidikan tidak disebut urusan yang amat penting (extremely important) atau mutak vital (absolutely vital), tapi pendidikan adalah urusan yang menyangkut hidup matinya (a matter of life and death) seluruh bangsa kami di masa depan.

Sungguh memalukan dan memilukan hati jika masih terdapat 50% siswa SMP dan 40% siswa SMA di satu kabupaten di Papua sana yang belum bisa membaca dan menulis. Semoga masih ada jalan untuk menyelamatkan masa depan pendidikan, menyalamatkan anak-anak Papua dari kebodohan dan keterbelakangan, menyelamatkan hari depan kita bersama.