25 Tahun Reformasi; Are we on the right track?

Oleh : Prof. Dr. Hafid Abbas, (Mantan Ketua Komnas HAM RI)

Di pengujung abad ke-20, bangsa Indonesia telah meninggalkan era otoritarianisme panjang selama lebih tiga dekade dan memilih jalan demokrasi. Keputusan itu diambil sendiri secara sadar sebagai bangsa yang berdaulat tanpa didikte pihak manapun.

Keputusan ini diambil karena dipicu memburuknya keadaan ekonomi nasional sebagai akibat krisis moneter yang melanda Thailand pertengahan 1997. Krisis ini kemudian meluas, mewabah bagai virus penyakit ke kawasan, dan membawa keterpurukan ekonomi nasional (hyperinflation and depression) hingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi nasional pada 1998 mencapai -16,54 persen.

Angka penduduk miskin tiba-tiba berlipat ganda menjadi sekitar 79,4 juta orang atau 39,1 persen dari 202 juta penduduk, dan PHK terjadi di mana-mana (BPS, 1998). Kegoncangan ini membawa pula kegoncangan sosial dan politik dan krisis multidimensi yang memaksa sistem pemerintahan sentralistik diakhiri yang kemudian melahirkan sistem pemerintahan desentralistik dengan tujuan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.

Era otoritarian pun harus diakhiri digantikan dengan era demokratisasi, meski pada waktu itu kita belum mampu mengeja huruf demi huruf dari kata demokrasi.

Kita belum tahu bagaimana cara mengelola demokrasi yang mengharuskan, misalkan, adanya pembagian kekuasaan yang berimbang antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif; antara pusat dan daerah; adanya kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan media, dan seterusnya. Yang terjadi pada masa itu hanyalah keberanian untuk segera berubah.

Akumulasi tuntutan reformasi itu dipicu tertembaknya empat mahasiwa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 (Kompas, 20/05/98). Ibarat sumbu petasan, peristiwa itulah yang meledakkan perubahan sosial-politik. Peristiwa ini telah mengantar pergantian kepemimpinan nasional secara amat dramatis.

Euforia demokratisasi, HAM, dan kebebasan berekspresi seakan tidak terelakkan. Bahkan kebebasan seperti itu dinilai telah melewati batas-batas kepatutan menurut ukuran-ukuran negara paling bebas dan paling demokratis sekalipun.

Kalau dulu dikenang semangat heroisme “sekali merdeka tetap merdeka”, sekarang semangat itu bermakna ”sekali merdeka, merdeka sekali”.

Sebagai keputusan bersejarah yang emosional, kemarahan yang tidak terbendung, tentu tidak dimungkinkan terdapat pemikiran-pemikiran rasional, sejuk, aspiratif, partisipatif, dan antisipatif untuk memperhitungkan segala konsekuensi yang akan ditimbulkan atas keputusan itu.

Akibatnya, meski sudah seperempat abad berdemokrasi, kita masih terkesan kehilangan orientasi terhadap masa depan. Bahkan, kita seakan masih mencari bentuk tatanan masyarakat demokratis yang kita tuju.

Meski tidak mudah melukiskan dan mewakili perasaan dan harapan masyarakat luas pada saat awal kita memilih jalan demokrasi, tapi sekadar refleksi pengalaman, ketika dipercaya sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik UNJ 1997-1999, tepat pada situasi memuncaknya dinamika pergolakan kampus, saya dapat menangkap betapa besar harapan masyarakat kampus dan masyarakat luas di kala itu akan segera terwujudnya perubahan yang lebih baik.

Namun, setelah menjalani seperempat abad berdemokrasi, harapan itu belum juga terwujud. Bahkan sebaliknya, KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) kini terlihat semakin meluas, kesenjangan kaya dan miskin semakin melebar, dan seterusnya.

Bahkan, beberapa kasus besar yang telah melanda negeri kita akhir-akhir ini seperti kasus Ferdy Sambo, kasus narkoba di kepolisian, kasus Rafael Alun Trisambodo, pejabat Ditjen Pajak Eselon III, kasus transaksi gelap (mencurigakan) di Kementerian Keuangan sebesar Rp 349 triliun yang telah diungkap oleh Menko Polhukam Mahfud MD, dan sejumlah kasus besar lainnya adalah beberapa contoh produk Reformasi yang terkesan tidak lebih baik dari era Orde Baru.

Pertanyaannya, apakah kita akan mempertahankan pilihan demokrasi seperti ini ataukah kita menghela nafas sejenak dan bertanya pada diri sendiri, “Are we on the right track“.

Di sisi lain, terlihat pula sejumlah negara yang damai, maju, dan sejahtera dengan tanpa berdemokrasi, misalnya, Cile dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita 12.700 dolar AS, dan Singapura (28 ribu dolar AS), dan seterusnya.

Apakah tata kelola demokrasi kita melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka seperti yang telah empat kali berlangsung sejak Reformasi akan tetap dipertahankan pada Pemilu 2024 atau tidak, dan seterusnya.

Model pemilu yang berbeda

Sebagai gambaran komparatif, pada pemilu Presiden AS 2000, calon presiden dari Partai Demokrat, Al Gore, berhadapan dengan calon dari Partai Republik, George W Bush. Bush menang tipis dalam pemilu ini dengan memperoleh 271 suara elektoral, sedangkan Gore hanya mendapatkan 266 suara elektoral (selisih lima suara).

Ini kemudian memunculkan sengketa penghitungan suara. Namun Mahkamah Agung dalam penanganan kasus ini memutuskan kemenangan Bush pada 12 Desember 2000 yang kemudian mengantarnya menjadi Presiden ke-43 AS.

Sebaliknya, pelaksanaan pemilu di belahan dunia yang berhaluan sosialis dan diktator, seperti Cina, Korea Utara, Kuba, dan lainnya. Di Korea Utara, misalnya, ketika melaksanakan pemilu presiden pada 9 Maret 2014, hasilnya telah mengantar kembali kemenangan mutlak, 100 persen, ke Presiden Kim Jong-Un, tanpa ada seorang pun yang memilih calon presiden lain karena hanya dia calon presiden satu-satunya. Inilah ciri pemilu pada negara yang berhaluan politik totalitarian dictatorship.

Disadari atau tidak, pemberlakuan pemilu dengan sistem proporsional terbuka yang sudah dilaksanakan empat kali sejak Reformasi, Indonesia sesungguhnya sudah menerapkan haluan politik demokrasi liberal yang menjauh dari Pancasila.

Disadari atau tidak, pemberlakuan pemilu dengan sistem proporsional terbuka yang sudah dilaksanakan empat kali sejak Reformasi, Indonesia sesungguhnya sudah menerapkan haluan politik demokrasi liberal yang menjauh dari Pancasila. Kelembagaan partai politik menjadi rapuh, tidak lagi menjadi pilar demokrasi untuk mempersiapkan kaderisasi pemimpin bangsa, karena sudah tergantikan oleh ketokohan orang per orang yang memiliki popularitas dan kekuatan finansial untuk duduk sebagai wakil rakyat di pusat dan daerah.

Sebagai ilustrasi, hasil penelitian Tempo satu dekade silam menunjukkan bahwa biaya calon anggota DPR RI dapat mencapai Rp 6 miliar (Tempo, 22/4/2013). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkapkan pula bahwa biaya yang harus dikeluarkan seseorang agar terpilih menjadi bupati/wali kota bervariasi Rp 20-100 miliar atau rata-rata Rp 60 miliar (Kompas, 23/7/2020).

Di sisi lain, gaji pejabat Indonesia 2019-2024, mulai dari bupati hingga presiden, terlihat amat rendah. Jika seorang bupati berpendapatan hanya dari gaji pokok dan tunjangan resminya sebesar Rp 5,88 juta sebulan (gajimu.com), maka untuk mengembalikan modalnya, ia harus bekerja sebagai bupati selama 170-171 tahun.

Indonesia terancam bubar

Melalui pemilu dengan sistem pemilu berbiaya mahal, dampaknya Bank Dunia memperkirakan Indonesia pada akhirnya akan bubar. Dalam publikasinya, Indonesia Rising Divide (2016), terdapat empat sumber penyebab pecahnya NKRI.

Pertama, adanya ketidaksamaan pemberian kesempatan kepada setiap warga negara untuk meningkatkan kesejahteraan sehingga jurang kaya-miskin semakin melebar.

Berikutnya, masyarakat miskin tidak mendapatkan pendidikan yang berkualitas sehingga hanya dapat diserap di sektor informal yang berupah amat rendah. Selanjutnya, konsentrasi peredaran uang dan modal di negeri ini hanya berputar di beberapa orang atau beberapa perusahaan karena dikendalikan oleh oligarki.

Terakhir, orang miskin ini tidak memiliki tabungan untuk membiayai pendidikan anaknya dan juga tidak memiliki tabungan untuk biaya kesehatan di hari tuanya. Dengan gambaran itu, pandangan Prabowo Subianto kelihatannya cukup beralasan jika dikatakan Indonesia sudah tidak ada lagi pada 2030 (BBC, 24/3/2018).

Seperempat abad reformasi telah dilewati, ternyata kita semakin menjauh dari ikhtiar Reformasi dan cita-cita kemerdekaan.

Seperempat abad reformasi telah dilewati, ternyata kita semakin menjauh dari ikhtiar Reformasi dan cita-cita kemerdekaan. ”Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” hanya jadi bayang-bayang fatamorgana yang indah belaka, yang tidak tersentuh.

Semoga negeri ini kelak masih bisa disaksikan oleh anak cucu kita, dan semoga tidak ada lagi pihak yang akan main-main dengan pemilu yang berbiaya mahal karena taruhannya terlalu besar.