Opini  

Apa Itu Sastra Pascakolonial? Sejarah, Karakteristik, dan Karya Penting

Oleh Ratu Prayuana (Dosen Sastra Inggris UNPAM)

Salah satu cara yang tepat untuk memahami sastra pascakolonial adalah dengan menelusuri asal-usul istilah “pascakolonialisme” serta penggunaannya dalam kritik sastra sejak akhir 1980-an hingga kini. Istilah ini terkadang ditulis dengan tanda hubung (post-colonialism), terkadang tanpa tanda hubung (postcolonialism), meskipun keduanya merujuk pada bidang kajian yang sama dari sudut pandang kritikus yang berbeda. Awalnya, versi dengan tanda hubung digunakan oleh ilmuwan politik dan ekonom untuk menggambarkan periode pasca berakhirnya kolonialisme secara literal.

Namun, sejak akhir 1970-an, istilah ini berkembang menjadi analisis kebudayaan secara lebih luas, terutama seperti yang digunakan di kalangan kritikus sastra. Versi tanpa tanda hubung lebih umum digunakan untuk membedakan dari makna yang hanya merujuk pada periode tertentu, sekaligus menunjukkan fokus pada kritik sastra dan analisis wacana yang berkaitan dengan isu-isu ras, gender, diaspora, dan lainnya. Secara keseluruhan, pascakolonialisme mengandung keterlibatan yang mendalam dengan pengalaman kolonialisme dan dampaknya, baik di masa lalu maupun masa kini.

Pascakolonialisme dapat didefinisikan sebagai upaya mendalam untuk memahami pengalaman kolonialisme serta dampaknya, baik di masa lalu maupun masa kini, baik di masyarakat bekas koloni maupun dalam konteks global yang dipengaruhi oleh peninggalan kolonialisme. Dalam kajiannya, pascakolonialisme sering membahas isu-isu seperti perbudakan, migrasi, penindasan, perlawanan, perbedaan identitas, ras, gender, serta tempat, termasuk juga tanggapan terhadap berbagai wacana imperealisme Eropa seperti sejarah, filsafat, antropologi, dan linguistik.

Pascakolonialisme tidak hanya berfokus pada kondisi yang muncul setelah berakhirnya kolonialisme, tetapi juga pada pengalaman dan kondisi di bawah imperialisme serta kolonialisme itu sendiri. Kepedulian kritikus pascakolonial juga mencakup minoritas rasial di Barat, seperti penduduk asli dan komunitas Afrika-Amerika di AS, komunitas Asia-Inggris dan Karibia-Afrika di Inggris, serta masyarakat Aborigin di Australia dan Kanada.

Dengan karakteristik yang beragam ini, pascakolonialisme memiliki banyak penerapan yang mencerminkan interaksi dinamis antara perubahan historis, konteks sosial-budaya, dan konfigurasi zaman. Karya Edward Said, Orientalisme (1978), memainkan peran penting dalam pembentukan studi pascakolonial. Dalam karyanya, Said menunjukkan korelasi langsung antara pengetahuan yang dihasilkan oleh sarjana Barat tentang dunia Timur dengan bagaimana pengetahuan ini digunakan dalam membangun pemerintahan kolonial.

Perlu diakui bahwa perkembangan menuju terbentuknya studi pascakolonial bukanlah serangkaian peristiwa tunggal, melainkan sebuah proses panjang dengan berbagai pengaruh dari sumber yang beragam, bahkan sering kali dari luar isu kolonialisme itu sendiri.

Arah perkembangan ini dapat dilihat dari beberapa sisi, misalnya, perubahan politik global dengan munculnya negara-negara baru yang merdeka; evaluasi ulang pada 1980-an terhadap dominasi nalar Barat dan keterlibatannya dalam ekspansi kekaisaran serta kekuasaan kolonial; perdebatan antara empirisme dan kulturalisme dalam ilmu sosial sejak 1960-an; serta tantangan terhadap wacana representasi dominan yang dilontarkan oleh studi feminis, gay, lesbian, dan etnis pada 1970-an dan 1980-an.

Studi pascakolonial berkembang melalui pengaruh dari berbagai disiplin ilmu yang mempertanyakan narasi dominan serta membuka ruang bagi perspektif dan pengalaman yang selama ini terpinggirkan.

Sastra pascakolonial mencerminkan beragam kondisi, latar, dan inspirasi yang berkembang dari berbagai sumber. Karya-karya yang berpengaruh dalam genre ini meliputi Murphy karya Samuel Beckett, One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez, Midnight’s Children karya Salman Rushdie, Things Fall Apart karya Chinua Achebe, Season of Migration to the North karya Tayeb Salih, Beloved karya Toni Morrison, Waiting for the Barbarians karya J.M. Coetzee, The English Patient karya Michael Ondaatje, The God of Small Things karya Arundhati Roy, We Need New Names karya NoViolet Bulawayo, White Teeth karya Zadie Smith, hingga Behold the Dreamers karya Imbolo Mbue, dan masih banyak lagi.

Bahkan karya klasik Barat seperti Othello, Antony and Cleopatra, dan The Tempest karya Shakespeare dijadikan teks penting dalam analisis pascakolonial untuk menggali dimensi kekuasaan, identitas, dan kolonialisme.

Sastra pascakolonial bukan sekadar karya yang ditulis oleh penulis dari negara bekas koloni, tetapi juga mencakup suara diaspora yang hidup di Barat, yang membawa perspektif minoritas dan narasi yang sebelumnya terpinggirkan. Dalam kerangka pascakolonialisme, literatur kanon Barat juga ditafsirkan ulang dengan perspektif yang segar dan kritis, menawarkan pandangan baru terhadap pengalaman kolonial, baik dari segi kekuasaan maupun perlawanan.

Pascakolonialisme, dengan demikian, berfungsi sebagai lensa kritis yang memungkinkan kita memahami literatur dari berbagai sudut pandang budaya, sejarah, dan politik, serta mengungkap identitas dan relasi kekuasaan yang mengalir di dalamnya.